Peta Aceh

Peta Aceh dan Penjelasan Lengkap

Diposting pada

Peta Aceh

Peta Aceh – Aceh adalah salah satu dari 34 provinsi Indonesia yang berada di ujung barat kepulauan Sumatera.

Ibukota provinsi ini berada di Banda Aceh dan juga sebagai Kota terbesar yang terletak di muara Sungai Aceh ujung barat laut Indonesia.

Dapat dilihat dari peta Aceh, wilayah ini dikelilingi oleh tiga sisi perairan yaitu Samudra Hindia di sisi barat dan utara serta Selat Malaka di sisi timur.

Sedangkan batas peta Aceh dengan provinsi Sumatera Utara di tenggara membentang dari utara-selatan, tepatnya dari Salahaji di pantai timur laut utara Teluk Aru menuju titik pantai barat daya sekitar pertengahan antara Singkil dan Barus.

Secara lengkap mengenai peta Aceh, silahkan simak pada pembahasan berikut.


Penjelasan Peta Aceh

Peta Aceh lengkap

Sebagai wilayah yang berada di ujung barat Indonesia, Peta aceh memiliki letak astronomis di antara 2°-6° lintang utara & 95°-98° lintang selatan dengan ketinggian 125 meter di atas permukaan laut.

Wilayah Aceh ini tergolong wilayah yang tidak terlalu luas jika dibandingkan dengan beberapa provinsi lainnya di Sumatera.

Jika Anda melihat dari peta aceh maka nampak dari timur menuju ke ujung barat semakin mengerucut sempit.

Dibalik wilayah yang kecil, aceh merupakan daerah yang konservatif (menjunjung tinggi nilai agama) dan memiliki catatan sejarah sebagai awal dimulainya penyebaran Islam di Indonesia.

Oleh karenanya provinsi Aceh dikenal sebagai Serambi Mekah dengan penerapan sistem hukum syariah Islam.

Islam menduduki Aceh (Kerajaan Fansur dan Lamuri) sekitar tahun 1250 Masehi. Pada awal abad ketujuh belas Kesultanan Aceh adalah kerajaan yang paling kaya, kuat dan berkembang di wilayah Selat Malaka.

Aceh memiliki sejarah kemerdekaan dan perlawanan politik yang dikendalikan oleh orang luar, termasuk bekas penjajah Belanda dan kemudian pemerintah Indonesia.

Aceh adalah titik terdekat dari tanah ke pusat Gempa bumi dan tsunami Samudra Hindia (2004), yang menghancurkan sebagian besar pesisir barat provinsi. Sekitar 170.000 orang Indonesia tewas atau hilang dalam bencana tersebut.

Disamping hal itu Aceh juga memiliki sumber daya alam yang besar dari minyak dan gas alam. Lebih lanjut, simak berikut ulasan peta Aceh lengkap beserta penjelasannya.


Gambar Peta Aceh

Peta-nangroe-aceh-darusalam

Peta Aceh Lengkap

Peta Aceh lengkap beserta keterangan administrasi dan legenda-nya.

peta Aceh lengkap

Peta Buta Provinsi Aceh

Peta Aceh jenis peta buta berwarna krem kombinasi garis hitam sebagai perbatasan wilayah.

peta aceh peta buta

Peta Provinsi Aceh

Gambar peta Aceh sebagai peta provinsi lengkap dengan lokasi dan nama kota.

Peta Aceh

Peta Topografi Aceh

Gambar Peta Aceh jenis peta topografi beserta keterangan dan legendanya.

Peta topografi Aceh

Peta Kabupaten Aceh Barat

Gambar Peta Aceh: (Peta Kabupaten Aceh Barat beserta keterangan administrasi-nya).

Peta Kabupaten Aceh Barat

Peta Kabupaten Aceh Timur

Gambar Peta Aceh: (Peta Kabupaten Aceh Timur beserta keterangan administrasi-nya).

Peta Kabupaten Aceh Timur

Peta Kabupaten Aceh Selatan

Gambar Peta Aceh: (Peta Kabupaten Aceh Selatan beserta keterangan administrasi-nya).

Peta Kabupaten Aceh Selatan

Peta Kabupaten Aceh Tengah

Gambar Peta Aceh: (Peta Kabupaten Aceh Tengah beserta keterangan administrasi-nya).

Peta Kabupaten Aceh Tengah


Baca Juga: Peta Bali & Penjelasan Lengkap


Geografis dan Iklim di Aceh

Berdasarkan peta Aceh, geografis wilayah tersebut berada di 01⁰ 58′ 37,2″ – 06⁰ 04′ 33,6″ Lintang Utara (LU) dan 94⁰ 57′ 57,6″ – 98⁰ 17′ 13,2″ Bujur Timur (BT).

Wilayah Aceh sebagian besar bergunung meliputi Gunung Leuser dan Abong Abong yang berada pada ketinggian 9.793 kaki (2.985 meter) dan 11.092 kaki (3.381 meter).

Sedangkan di bagian utara terdapat dataran pantai yang cukup luas, dan sungai pendek yang memiliki nilai kecil untuk titik transit.

Secara keseluruhan, wilayah Aceh memiliki 119 pulau yang mencakup 35 gunung dan 73 sungai utama.

Di pantai barat daya dihiasi dengan rawa. Adapun gunung vulkanik pedalaman yang ditutupi oleh hutan hujan beriklim sedang dan tropis yang terdiri dari pohon palem, Oak, tumbuhan runjung, dan Laurel.

Bangsa Aceh yang taat beragama Islam banyak menduduki dataran rendah dan perbukitan, mereka merupakan sebagian besar penduduk yang hidup berdampingan.

Di dataran tinggi terdapat suku Gayo, masyarakat ini juga sebagai penganut agama Islam.

Iklim Aceh hampir seluruhnya tropis, dengan dataran pantai rata-rata 82 ° F (28 ° C), daerah pedalaman dan pegunungan rata-rata 79 ° F (26 ° C), dan daerah pegunungan yang lebih tinggi, 73 ° F (23 ° C).

Wilayah Aceh memiliki area kelembapan yang relatif diantara 70 dan 90 persen. Ada musim kemarau pada bulan Juni hingga September yang dipengaruhi oleh massa udara kontinental Australia.

Serta musim hujan pada bulan Desember hingga Maret yang dihasilkan dari massa udara daratan Asia dan Samudera Pasifik .

Seperti pada peta Aceh, Sumatera bagian barat memiliki curah hujan lebih dari 78 inci (2.000 milimeter) per tahun.


Baca Juga: Peta Bandung | Penjelasan Lengkap


Sumber Daya Alam Aceh

kekayaan alam aceh

Seperti halnya beberapa wilayah lain di Indonesia, Aceh juga terkenal dengan sumber daya alam melimpah yang dimanfaatkan secara optimal sebagai komoditi masyarakat Aceh pada umumnya.

Aceh memiliki berbagai macam sumber daya alam meliputi emas, gas alam, minyak bumi, kakao, kopi, kayu, hutan, rempah-rempah, dan ikan.

Sebagai wilayah yang berada di kawasan tropis, membuat masyarakat Aceh mudah dalam melakukan pengembangan usaha.

Beberapa banyak bidang usaha meliputi pertanian, perkebunan, perikanan, peternakan, tanaman pangan, hingga pariwisata.

Bahkan, sejak tahun 1900 Aceh telah mengelola usaha pertambangan umum berupa minyak dan gas yang berada di wilayah Aceh bagian timur dan utara.

Lebih lanjut, Aceh juga memiliki endapan batubara dengan kedalaman 1000 meter sebanyak 15 lapisan.

Adapun jumlah cadangan terunjuk mencapai kedalaman 80 meter dengan total sebanyak 500 juta ton, serta cadangan hipotetis berkisar diantara 1,7 miliar ton.

Selain itu, Aceh juga berpotensi pada pengembangan sumber energi sebagai pembangkit listrik yang terdiri dari air, batubara dan panas bumi.

Tenaga air tersebut berada di 15 lokasi sebesar 2.626 MW yang tersebar di wilayah Aceh. Kemudian di beberapa wilayah Aceh tersebar potensi batubara sebesar 1.300 juta ton. Serta ada 17 titik panas bumi untuk bahan pembangkit tenaga listrik.

Seperti pada peta Aceh, wilayah ini juga memiliki kekayaan alam berupa logam maupun non logam. Setidaknya terdapat 21 potensi jenis bahan galian industri yang dapat didistribusikan di seluruh penjuru provinsi Aceh.

Pasalnya banyak masyarakat Aceh mendapatkan manfaat daripada kekayaan alam di dekat mereka tinggal.

Kekayaan sumber daya alam yang melimpah di Aceh mendorong SDM untuk terus belajar dan berinovasi terhadap teknologi agar dapat memproduksi secara maksimal dan lebih bermanfaat lagi..

Salah satu upaya yang mendukung dalam pembangunan tersebut agar dapat mewujudkan keuntungan yang besar bagi masyarakat yakni dengan peran pemerintahan untuk menggerakkan edukasi teknologi.

Baca juga:  Mengenal Tari Janger: Unsur Warisan Leluhur Budaya Bali yang Eksotis!

Baca Juga: Peta Korea | Penjelasan Lengkap


Ekonomi Aceh

ekonomi aceh

Aceh memiliki salah satu cadangan minyak dan gas alam terbesar di Indonesia. Sejumlah perusahaan multinasional tetap hadir mengelola di Aceh.

Sumber pendapatan utama Aceh adalah minyak dan gas alam, pupuk, dan pertanian. Aceh juga memiliki sumber daya alam yang belum dieksploitasi.

Tanaman pangan termasuk beras, jagung, kacang tanah, kacang polong, singkong, sayuran, ubi, dan buah-buahan.

Daerah penghasil buah di Aceh Besar meliputi (mangga, rambutan, langsat, durian) dan Aceh Utara (pisang, pepaya, sirsak, jeruk).

Sayuran dan buah-buahan dari dataran tinggi yang lebih kering ditanam di Aceh Tengah meliputi (kol, tomat, kentang, alpukat, marquise, jeruk, dan nanas).

Tanaman komersial Aceh termasuk kelapa sawit, karet, kelapa, kopi, dan kakao. Setiap tahun Aceh menghasilkan 300.000 ton minyak sawit mentah, 65.000 ton inti sawit, 80.000 ton karet, 60.000 ton kopi, dan 100.000 ton kopra (daging kelapa kering yang digunakan untuk memproduksi minyak).

Selain itu Aceh juga menghasilkan pala, tebu, minyak nilam, dan pinang.

Untuk area perairan ada ikan tuna, cakalang, hiu, bawal (stromateus), makarel, dan udang semuanya ditemukan di laut dalam dan perairan pesisir.

Adapun hasil hutan termasuk kayu gelondongan, kayu gergajian, kayu olahan, kayu lapis, papan-blok, dan serpihan kayu.

Aceh juga mengekspor produk hutan non-kayu seperti kayu meranti (shorea), kapur semantok, damar laut, pinus mercussi (bahan baku yang digunakan di banyak industri seperti pembuatan kertas dan keramik), dan damar madu.

Penambangan menghasilkan minyak bumi, gas alam cair, batu bara, emas, besi, platinum, tembaga, timah, dan semen. Aceh juga memiliki tujuh bandara dan memiliki 13 pelabuhan.


Batas Wilayah Provinsi Aceh

Seperti yang disingung di atas, batas wilayah Provinsi Aceh mulai dari sebelah Timur, Barat, Selatan, Utara sebagai berikut:

  • Provinsi Aceh di Sebelah Timur berbatasan dengan Selat Malaka.
  • Provinsi Aceh di Sebelah Barat berbatasan dengan Samudera Indonesia.
  • Provinsi Aceh di Sebelah Selatan berbatasan dengan Provinsi Sumatera Utara.
  • Provinsi Aceh di Sebelah Utara berbatasan dengan Selat Malaka.

Selain dari batas wilayah tersebut Provinsi Aceh juga banyak memiliki pulau, dapat dilihat pada peta Aceh pulau tersebut terhitung sebanyak 119 serta ada 5 pegunungan.

Selain daripada itu, Provinsi Aceh juga terdaptat 73 Aliaran Sungai Utama yang umum dimanfaatkan oleh masyarakat setempat untuk jalur perekonomian meliputi tempat wisata dan pertanian.


Sejarah Peta Aceh

Berikut adalah pemaparan sejarah aceh secara lengkap sejak zaman prasejarah hingga masa kemerdekaan.

Aceh Masa Prasejarah

Menurut beberapa temuan arkeologis, bukti pertama tempat tinggal manusia di Aceh berasal dari sebuah situs di dekat Sungai Tamiang di mana middens kerang ditemukan.

Alat – alat batu dan sisa – sisa fauna juga ditemukan di situs tersebut. Para arkeolog percaya bahwa situs itu pertama kali ditempati sekitar 10.000 SM.

Sejarah Aceh Pra-Islam

Tidak banyak yang terungkap tentang sejarah pra-Islam Aceh, namun, ada beberapa artefak yang menghubungkan era pra-Islam dengan Budha dan budaya Dharmik yang mungkin berasal dari kekaisaran Srivijayan atau wilayah Indocina, serta sebelum Kebiasaan Melayu Kuno pra-Islam.

Contohnya seperti kepala patung batu Avalokiteshvara Boddhisattva yang ditemukan di Aceh. Terlihat Gambar Amitabha Buddhas menghiasi mahkotanya di depan dan di setiap sisi kepala. Seni Srivijayan diperkirakan sebuah koleksi Museum Nasional Indonesia abad ke-9 M, Jakarta.

Nama-nama bersejarah seperti Indrapurba, Indrapurwa, Indrapatra, dan Indrapuri, yang merujuk pada dewa Hindu Indra, memberi sedikit petunjuk pengaruh India di wilayah Aceh.

Namun, tidak seperti di Jambi dan Sumatera Selatan, disana tidak ada situs arkeologi dan temuan penting seperti kuil yang menghubungkan wilayah tersebut dengan budaya Hindu-Budha.

Beberapa sumber Cina sejak saat itu menyebutkan bahwa ada pemukiman di Sumatra paling utara (Aceh) yang disebut P’o-lu.

Banyak sarjana percaya bahwa P’o-lu berada di dekat tempat yang sekarang disebut Banda Aceh.

Sumber-sumber yang sama ini juga menyatakan bahwa orang-orang biasa di negeri Aceh mengenakan pakaian katun sementara kaum elit yang berkuasa mengenakan pakaian sutra.

Raja P’o-lu dikatakan menggunakan gajah untuk menarik kereta pribadinya. Catatan sejarah Cina juga mengklaim bahwa orang-orang itu beragama Buddha.

Sejarah Aceh Awal Islam di Asia Tenggara

Aceh menjadi bukti mengenai kedatangan awal dan pendirian Islam selanjutnya di Asia Tenggara.

Sejarawan lain Anthony Reid berpendapat bahwa wilayah orang Cham di pantai selatan-tengah Vietnam adalah salah satu pusat Islam paling awal di Asia Tenggara.

Kemudian, ketika orang Cham melarikan diri dari Vietnam, salah satu lokasi paling awal yang mereka jalin hubungan adalah dengan Aceh.

Lebih lanjut, diperkirakan bahwa salah satu pusat Islam paling awal adalah di wilayah Aceh. Ketika traveler Venesia Marco Polo melewati Sumatera dalam perjalanan pulang dari Cina pada 1292.

Ia menemukan Perlak adalah sebuah kota kerajaan Muslim, sedangkan didekatnya ada Samudera Pasai yang dianggapnya bukan kota Islam.

Akan tetapi pernyataan polo ini belum akurat dan dinyatakan tidak benar sebab batu nisan Sultan Malik as-Salih seorang penguasa Muslim pertama Samudra, telah ditemukan dan bertanggal 696 H (1297 M).

Hal ini adalah bukti paling awal yang jelas dari sebuah dinasti Muslim di wilayah Indonesia-Melayu dan lebih banyak batu nisan dari abad ketiga belas menunjukkan bahwa wilayah ini berlanjut di bawah pemerintahan Muslim.

Ibn Batutah, seorang musafir Maroko yang sedang dalam perjalanan ke Tiongkok pada tahun 1345 dan 1346, mendapati bahwa penguasa Samudra adalah pengikut madzhab Islam Syafi’iyah.

Nama Aceh mulai muncul sekitar abad ke 16. Dimana ketika nama tersebut digunakan untuk merujuk ke pelabuhan di ujung utara Sumatera. Aceh segera menjadi pusat Islam budaya dan skolastik di seluruh Asia Tenggara pada periode itu.

Itu juga menjadi kekayaan ekonomi karena menjadi sebuah pusat perdagangan yang luas.

Sejarah Aceh Masa Kesultanan Aceh

Kesultanan Aceh didirikan oleh Sultan Ali Mughayat Syah pada tahun 1511.

Kemudian, selama era keemasan-nya pada abad ke-17, wilayah dan pengaruh politiknya meluas hingga ke Satun di Thailand selatan, Johor di Semenanjung Melayu, dan Siak yang sekarang menjadi provinsi Riau.

Seperti halnya dengan kebanyakan negara pra-kolonial non-Jawa, kekuatan Aceh cenderung meluas ke luar melalui laut daripada ke daratan.

Saat meluas ke pantai Sumatra, pesaing utamanya adalah Johor dan Portugis Malaka dan di sisi lain Selat Malaka.

Fokus pada perdagangan laut inilah yang membuat Aceh bergantung pada impor beras dari utara Jawa karena tidak mengembangkan swasembada dalam produksi beras.

Setelah pendudukan Portugis di Malaka pada tahun 1511, banyak pedagang Islam yang melewati Selat Malaka mengalihkan perdagangan mereka ke Banda Aceh dan meningkatkan kekayaan penguasa Aceh.

Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda pada abad ke-17, pengaruh Aceh meluas ke sebagian besar Sumatra dan Semenanjung Melayu.

Aceh bersekutu dengan Kekaisaran Ottoman dan Perusahaan India Timur Belanda (VOC) dalam perjuangan mereka melawan Portugis dan Kesultanan Johor.

Setelahnya kekuatan militer Aceh menyusut secara bertahap, kemudian Aceh menyerahkan wilayah Pariamannyadi Sumatera ke Belanda di abad ke-18.

Namun, pada awal abad kesembilan belas, Aceh telah menjadi kekuatan yang semakin berpengaruh karena lokasinya yang strategis untuk mengendalikan perdagangan regional.

Pada tahun 1820-an Aceh dapat menjadi produsen lebih dari setengah pasokan lada hitam dunia. Perdagangan lada menghasilkan kekayaan baru untuk Kesultanan dan untuk banyak penguasa pelabuhan kecil di dekatnya yang telah berada di bawah kendali Aceh.

Perubahan-perubahan ini awalnya mengancam integritas Aceh, tetapi sultan baru Tuanku Ibrahim yang mengendalikan kerajaan dari tahun 1838 hingga 1870, menegaskan kembali kekuasaan atas pelabuhan-pelabuhan terdekat.

Kemudian pada tahun 1824 terjadi perjanjian Inggris-Belanda di London yang menyerahkan harta kolonial Inggris di Sumatera kepada Belanda.

Dalam perjanjian itu, Inggris menggambarkan Aceh sebagai salah satu dari harta benda mereka, meskipun mereka tidak memiliki kendali nyata atas Kesultanan.

Awalnya, di bawah perjanjian itu Belanda setuju untuk menghormati kemerdekaan Aceh. Namun, pada tahun 1871 Inggris menjatuhkan oposisi terhadap invasi Belanda ke Aceh.

Baca juga:  Ragam Contoh Hewan Amfibi dan Nama Latin-nya Lengkap

Penjatuhan oposisi tersebut diperkirakan sebagai upaya untuk mencegah Prancis atau Amerika Serikat memperoleh pijakan di wilayah tersebut.

Meskipun Belanda maupun Inggris tidak mengetahui secara spesifik, ada desas-desus sejak 1850-an bahwa Aceh telah berkomunikasi dengan para penguasa Prancis dan Kekaisaran Ottoman.

Sejarah Perang Aceh

Bajak laut yang beroperasi dari Aceh mengancam perdagangan di Selat Malaka, keadaan tersebut membuat Sultan tidak dapat mengendalikan mereka.

Pada masa itu Inggris adalah penguasa Aceh dan memberi Belanda izin untuk membasmi para perompak.

Kampanye itu dengan cepat mengusir sultan, tetapi para pemimpin lokal mengerahkan dan melawan Belanda dalam perang gerilya selama empat dekade, dengan kekejaman tingkat tinggi.

Pemerintah kolonial Belanda menyatakan perang terhadap Aceh pada 26 Maret 1873. Aceh meminta bantuan Amerika tetapi Washington menolak permintaan itu.

Belanda mencoba satu strategi demi strategi selama empat dekade. Ekspedisi di bawah Mayor Jenderal Johan Harmen Rudolf Köhler pada tahun 1873 menduduki sebagian besar wilayah pesisir.

Strategi Köhler adalah menyerang dan merebut istana Sultan dan gagal. Kemudian Belanda mencoba blokade laut, rekonsiliasi, konsentrasi dalam barisan benteng, dan terakhir penahanan pasif.

Dengan cara tersebut mereka memiliki sedikit keberhasilan. Yang mana menghabiskan 15 hingga 20 juta gulden per tahun.

Pengeluaran besar untuk strategi yang gagal hampir membuat pemerintah kolonial bangkrut.

Tentara Aceh dengan cepat dimodernisasi, dan tentara Aceh menyembelih Köhler (sebuah monumen peristiwa ini telah dibangun di dalam Masjid Agung Banda Aceh).

Köhler membuat beberapa kesalahan taktis yang serius dan reputasi Belanda sangat dirugikan. Dalam beberapa tahun terakhir sejalan dengan meningkatnya perhatian internasional terhadap isu-isu hak asasi manusia dan kekejaman di zona perang.

Sehingga terjadi peningkatan diskusi tentang beberapa tindakan kekejaman dan pembantaian yang dicatat yang dilakukan oleh pasukan Belanda selama periode perang di Aceh.

Hasan Mustafa (1852–1930) adalah kepala penghulu atau hakim untuk pemerintah kolonial yang ditempatkan di Aceh.

Hasan Mustafa bertugas menyeimbangkan keadilan tradisional Muslim dengan hukum Belanda.

Untuk menghentikan pemberontakan Aceh, Hasan Mustafa mengeluarkan sebuah fatwa kepada kaum Muslim disana pada tahun 1894.

Sejarah Aceh Masa Kedudukan Jepang

Selama Perang Dunia II, pasukan Jepang menduduki Aceh. Ulama Aceh (ulama Islam) berperang melawan Belanda dan Jepang, memberontak melawan Belanda pada Februari 1942 dan melawan Jepang pada November 1942.

Pemberontakan ini dipimpin oleh Asosiasi Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA). Jepang menderita 18 orang tewas dalam pemberontakan sementara mereka membantai hingga 100 atau lebih dari 120 orang Aceh.

Pemberontakan terjadi di Bayu dan berpusat di sekitar sekolah agama desa Tjot Plieng. Selama pemberontakan, pasukan Jepang yang dipersenjatai dengan mortir dan senapan mesin dihadang dengan pedang oleh orang Aceh di bawah pimpinan Teungku Abduldjalil (Tengku Abdul Djalil) di Buloh Gampong Teungah dan Tjot Plieng pada 10 dan 13 November.

Pada bulan Mei 1945 rakyat Aceh memberontak lagi. Persatuan Ulama Seluruh Aceh memperoleh kekuasaan untuk menggantikan partai panglima perang daerah (uleebalang) yang sebelumnya bekerja sama dengan Belanda.

Sejarah Aceh Masa Kemerdekaan Indonesia

Setelah Perang Dunia II, perang saudara meletus pada tahun 1945 antara partai panglima perang distrik, yang mendukung kembalinya pemerintah Belanda, dan partai ulama agama yang mendukung negara Indonesia yang baru diproklamirkan.

Ulama menang, dan daerah itu tetap bebas selama Perang Kemerdekaan Indonesia. Militer Belanda sendiri tidak pernah berusaha menyerang Aceh.

Perang saudara mengangkat pemimpin partai ulama beragama, Daud Bereueh ke posisi gubernur militer Aceh.


Pahlawan dari Aceh

Cut Nyak Dhien

Pemerintah memberikan apresiasi terhadap perjuangan Aceh dalam mewujudkan kemerdekaan Indonesia melalui peperangan melawan kolonial Belanda dan Jepang.

Karena itu Pemerintah menobatkan orang yang berjasa tersebut sebagai Pahlawan Nasional.

Aceh memiliki pahlawan Nasional Indonesia sebagai gelar tingkat tertinggi yang diberikan secara anumerta oleh Pemerintah Indonesia untuk tindakan yang dianggap heroic.

Didefinisikan sebagai perbuatan nyata yang dapat diingat dan dicontohkan sepanjang masa oleh warga negara lain atau pengabdian luar biasa yang memajukan kepentingan negara dan rakyat

Tokoh-tokoh pahlawan dari Aceh tersebut diantaranya adalah:

  • Cut Nyak Dhien
  • Cut Nyak Meutia
  • Teungku Chik di Tiro
  • Teuku Umar
  • Teuku Nyak Arif
  • Sultan Iskandar Muda dan
  • Teuku Muhammad Hasan

Tujuh pahlawan di atas telah melakukan perjuangan dan pengorbanan waktu, tenaga dan jiwanya guna mewujudkan kemerdekaan Indonesia.


Adat dan Budaya Aceh

Adat dan Budaya Aceh

Indonesia memiliki keanekaragaman budaya yang luar biasa di banyak pulau. Aceh, yang terletak di pulau Sumatra, adalah bagian dari warisan diantara kepulauan Indonesia.

Kekayaan budayanya berasal dari lingkungan alam yang kaya dan sejarah unik sehingga membantu membentuk karakteristik daerah tersebut.

Budaya unik Aceh berkembang sebagai hasil akulturasi dan integrasi berbagai elemen etnis di provinsi tersebut.

Berikut adalah berbagai macam adat dan budaya Aceh.

Senjata Tradisional Aceh

Rencong adalah senjata tradisional rakyat Aceh sejenis belati. Bentuknya menyerupai huruf L, dan bila dilihat lebih dekat bentuknya adalah kaligrafi bismillah.

Selain rencong, masyarakat Aceh juga memiliki beberapa senjata khusus lainnya seperti;

  • Sikin panyang
  • Peurise awe
  • Peurise teumaga
  • Siwah
  • Geuliwang dan
  • Peudeueng

Rumah Tradisional Aceh

Rumah tradisional Aceh disebut Rumoh Aceh. Rumah ini adalah jenis rumah panggung dengan tiga bagian utama dan satu bagian tambahan.

Tiga bagian utama rumah Aceh adalah seuramoë keuë (teras depan), seuramoë teungoh (teras tengah) dan seuramoë likôt (teras belakang). Sedangkan satu bagian tambahan yaitu rumoh dapu atau (dapur rumah).

Tarian Tradisional Aceh

Tarian tradisional Aceh menggambarkan warisan tradisional, agama, dan cerita rakyat setempat. Umumnya tarian Aceh dilakukan secara berkelompok, yang mana sekelompok penari merupakan berjenis kelamin sama mencakup posisi duduk dan berdiri.

Jika dilihat dari musik yang menyertainya, tarian dapat dikelompokkan menjadi dua jenis; yaitu diiringi oleh vokal dan perkusi dari tubuh penari itu sendiri dan diiringi oleh ansambel alat musik.

Beberapa tarian yang terkenal di tingkat nasional dan bahkan dunia adalah tarian yang berasal dari Aceh, seperti Tari Rateb Meuseukat dan tari Saman.

Makanan Aceh

Masakan Aceh menggunakan kombinasi rempah-rempah yang ditemukan dalam masakan India dan Arab, termasuk jahe, lada, ketumbar, jintan, cengkeh, kayu manis, kapulaga, dan adas.

Berbagai makanan Aceh dimasak dengan kare atau bumbu kare dan santan. Umumnya masakan ini dikombinasikan dengan daging, seperti daging kerbau, sapi, domba, ikan, dan ayam.

Resep tertentu secara tradisional menggunakan ganja sebagai bumbu yang juga ditemukan di beberapa hidangan Asia Tenggara lainnya seperti di Laos, tetapi sekarang bahan tersebut tidak lagi digunakan.

Hidangan asli Aceh lainnya yaitu termasuk Nasi gurih, Mie Aceh, Mie caluk dan Timphan.

Sastra Aceh

Manuskrip Aceh tertua yang dapat ditemukan berasal dari tahun 1069 H (1658/1659 M), yaitu Hikayat Seuma’un.

Sebelum kolonialisme Belanda (1873–1942), hampir semua sastra Aceh berbentuk puisi yang dikenal sebagai Hikayat.

Sangat sedikit dalam bentuk prosa dan salah satunya adalah Kitab Bakeu Meunan yang merupakan terjemahan dari buku Qawaa’id al-Islaam.

Hanya setelah kedatangan Belanda, tulisan-tulisan Aceh muncul dalam bentuk prosa, pada 1930-an, seperti Lhee Saboh Nang yang ditulis oleh Aboe Bakar dan De Vries.

Baru setelah itu berbagai bentuk prosa muncul, tetapi masih tetap didominasi oleh bentuk Hikayat.

Alat Musik Aceh

Alat musik etnik adalah warisan budaya yang harus dilestarikan. Hal ini dilakukan sehingga keberadaan alat musik tersebut tidak punah dan dapat terus dikenal untuk generasi masa depan.

Aceh adalah daerah yang juga memiliki alat musik etnis dari berbagai jenis seperti

  • Serune Kalee
  • Rapai
  • Gendang
  • Canang
  • Arbab
  • Celempong dan
  • Tambo

Selama waktu ini, pelestarian alat musik dilakukan melalui pertunjukan seni budaya dalam bentuk pertunjukan panggung atau seni pameran dengan jadwal yang telah ditentukan dan terbatas.

Oleh karena itu, untuk dapat melestarikan alat musik tersebut, perlu untuk memperkenalkan kepada publik sehingga mereka dapat dikenal masyarakat, terutama untuk anak usia dini.

Baca juga:  4 Macam Tujuan Permainan Bola Basket (Lapangan, Fisik, Mental)

Populasi di Aceh

Populasi penduduk Aceh tidak didokumentasikan secara memadai selama sensus Indonesia 2000 karena pemberontakan mempersulit proses pengumpulan informasi yang akurat.

Diperkirakan 170.000 orang meninggal di Aceh dalam tsunami 2004 yang semakin memperumit tugas analisis demografi yang cermat.

Menurut sensus terakhir, total populasi Aceh pada tshun 2010 adalah 4.486.570 jiwa dan pada tshun 2015 4.993.385 jiwa perkiraan resmi terbaru (per 1 Juli 2019) sebanyak 5.316.320 jiwa.


Daftar Kabupaten dan Kota di Provinsi Aceh

Secara administratif, provinsi Aceh dibagi menjadi delapan belas kabupaten dan lima kota otonom.

Ibukota-nya adalah Banda Aceh, terletak di pantai dekat ujung utara Sumatera. Beberapa daerah lokal mendorong untuk menciptakan daerah otonom baru, biasanya dengan tujuan yang dinyatakan untuk meningkatkan kontrol lokal atas politik dan pembangunan.

Daftar wilayah kota dan kabupaten di Aceh tercantum di bawah ini pada Sensus 2010 dan Sensus Menengah 2015, serta berdasarkan data terbaru 1 Juli 2019.

No Kabupaten/Kota Ibu kota  Luas wilayah
1 Kota Banda Aceh Banda Aceh 61,36 km²
2 Kota Langsa  Langsa 262,41 km²
3 Kota Lhokseumawe Lhokseumawe 181,06 km²
4 Kota Sabang Sabang 153,00 km²
5 Kota Subulussalam Subulussalam 1.391,00 km²
6 Kabupaten Aceh Barat Meulaboh 2.927,95 km²
7 Kabupaten Aceh Barat Daya Blangpidie 1.490,60 km²
8 Kabupaten Aceh Besar Kota Jantho 2.969,00 km²
9 Kabupaten Aceh Jaya Calang 3.812,99 km²
10 Kabupaten Aceh Selatan Tapak Tuan 3.841,60 km²
11 Kabupaten Aceh Singkil Singkil 2.185,00 km²
12 Kabupaten Aceh Tamiang Karang Baru 1.956,72 km²
13 Kabupaten Aceh Tengah Takengon 4.318,39 km²
14 Kabupaten Aceh Tenggara Kutacane 4.231,43 km²
15 Kabupaten Aceh Timur Idi Rayeuk 6.286,01 km²
16 Kabupaten Aceh Utara Lhoksukon 3.236,86 km²
17 Kabupaten Bireuen Bireuen 1.901,20 km²
18 Kabupaten Bener Meriah Simpang Tiga Redelong 1.454,09 km²
19 Kabupaten Gayo Lues Blang Kejeren 5.719,58 km²
20 Kabupaten Nagan Raya Suka Makmue 3.363,72 km²
21 Kabupaten Pidie Sigli 3.086,95 km²
22 Kabupaten Pidie Jaya Meureudu 1.073,60 km²
23 Kabupaten Simeulue Sinabang 2.051,48 km²

Suku Provinsi Aceh

Suku Provinsi Aceh

Berikut adalah daftar suku yang hidup mendiami beberapa wilayah di Provinsi Aceh.

  1. Suku Aceh

Suku Aceh adalah nama suku yang mendiami ujung utara Sumatera. Mereka adalah Muslim. Bahasa yang dituturkan oleh mereka adalah bahasa Aceh yang masih terkait dengan bahasa Mon Khmer (wilayah Champa).

Bahasa Aceh adalah bagian dari bahasa Melayu-Polinesia barat, cabang dari keluarga bahasa Austronesia.

Suku Aceh memiliki sejarah panjang tentang kejayaan kerajaan Islam sampai perjuangan penaklukan kolonial Hindia Belanda.

Banyak budaya Aceh menyerap budaya Hindu India, di mana kosakata banyak bahasa Aceh yang berbahasa Sansekerta.

Suku Aceh adalah suku di Indonesia yang pertama kali memeluk Islam dan mendirikan kerajaan Islam. Mayoritas orang Aceh bekerja sebagai petani, penambang, dan nelayan.

  1. Suku Aneuk Jamee

Suku Aneuk Jamee adalah suku yang tersebar di sepanjang pantai barat dan selatan Aceh. Dalam hal bahasa, itu dianggap sebagai dialek dari bahasa Minangkabau.

Namun, karena pengaruh lama proses asimilasi budaya, sebagian besar suku Aneuk Jamee, terutama yang tinggal di daerah yang didominasi oleh Suku Aceh.

Sebagai contoh ada di kabupaten Aceh Barat, bahasa Aneuk Jamee hanya digunakan di kalangan orang tua dan sekarang umumnya lebih lazim di Aceh sebagai lingua franca.

Asal mula penyebutan “Aneuk Jamee” diduga dipopulerkan oleh Suku Aceh, sebagai perwujudan sifat keterbukaan masyarakat Aceh dalam memuliakan kelompok penduduk Minangkabau yang datang untuk mengungsi dari tanah leluhur mereka yang berada di bawah pemegang kolonial Belanda.

  1. Suku Alas

Suku Alas merupakan salah satu suku yang tinggal di Kabupaten Aceh Tenggara, Provinsi Aceh ( (yang juga dikenal dengan sebutan Tanah Alas).

Kata “alas” dalam bahasa Alas berarti “mat”. Ini ada hubungannya dengan kondisi kawasan yang membentang datar seperti tikar di sela-sela Bukit Barisan. Daerah Alas-Alas melewati banyak sungai, salah satunya adalah Lawe Alas (Sungai Alas).

Sebagian besar suku Alas hidup di pedesaan dan hidup sebagai petani dan peternak. Tanah Alas adalah lumbung padi untuk Aceh.

Tapi selain itu mereka juga menanam karet, kopi, dan kemiri, dan mencari berbagai hasil hutan, seperti kayu, rotan, damar dan dupa. Sementara hewan yang mereka budidayakan adalah kuda, kambing, kerbau, dan sapi.

Alas desa atau desa disebut kute. Kute biasanya dihuni oleh satu atau beberapa klan, yang disebut gabungan.

Anggota satu merger berasal dari satu leluhur yang sama. Pola kehidupan keluarga mereka adalah persatuan dan kesatuan.

Mereka menggambar garis keturunan patrilineal, yang berarti garis keturunan laki-laki. Mereka juga mengikuti penggabungan eksogami kustom, yang berarti bahwa kecocokan harus dicari dalam penggabungan lainnya.

Suku Alas 100% adalah penganut Islam. Namun ada juga yang meyakini praktik perdukunan misalnya dalam kegiatan pertanian.

Mereka melakukan upacara dengan latar belakang kepercayaan tertentu agar pertanian mereka membawa hasil yang baik atau untuk menghindari hama.

  1. Suku Batak Pakpak

Suku Pakpak adalah salah satu suku di Pulau Sumatera Indonesia dan tersebar di beberapa kabupaten / kota di Sumatera Utara dan Aceh.

Persebaranny berada di Dairi, Pakpak Bharat, Humbang Hasundutan (Sumatera Utara), Aceh Singkil dan Sabulusalam (Prov. Aceh).

  1. Suku Devayan

Suku Devayan adalah suku yang mendiami Pulau Simeulue. Suku ini mendiami distrik Teupah Barat, Simeulue Timur, Simeulue Tengah, Teupah Selatan, dan Teluk Dalam.

  1. Suku Gayo

Suku Gayo adalah suku yang mendiami dataran tinggi Gayo di Aceh. Mayoritas suku Gayo berada di kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah, Gayo Lues dan 3 kabupaten di Aceh Timur, kecamatan Serbe Jadi, Peunaron dan Simpang Jernih.

Selain itu, suku Gayo juga berada di beberapa desa di kabupaten Aceh, seperti Tamiang dan Aceh Tenggara.

Suku Gayo adalah Muslim dan mereka dikenal taat dalam agama mereka. Suku Gayo menggunakan bahasa yang disebut Gayo.

  1. Suku Haloban

Suku Haloban adalah suku yang terletak di Kabupaten Aceh Singkil, tepatnya di Kabupaten Pulau Banyak.

Kecamatan Pulau Banyak adalah kabupaten yang terdiri dari 7 desa dengan ibukota kecamatan yang terletak di desa Pulau Balai.

  1. Suku Kluet

Suku Kluet yaitu suku yang mendiami beberapa kecamatan di kabupaten Aceh Selatan, meliputi kecamatan Kluet Timur, Kluet Tengah, Kluet Selatan dan Kluet Utara.

  1. Suku Singkil

Suku Singkil adalah suku yang terletak di Kabupaten Aceh Singkil dan Subulussalam di provinsi Aceh.

Posisi suku Singkil masih diperdebatkan apakah itu milik suku Pakpak Suak Boang atau berdiri sebagai suku terpisah yang terpisah dari suku Pakpak.

  1. Suku Lekon

Suku Lekon adalah suku di distrik Alafan, Simeulue di provinsi Aceh. Suku ini terletak di desa Lafakha dan dan Langi.

  1. Suku Sigulai

Suku Sigulai adalah suku yang mendiami Pulau Simeulue utara. Suku ini terletak di distrik Simeulue Barat, Alafan dan Salang.

  1. Suku Tamiang

Populasi utama kabupaten Aceh Tamiang adalah suku Melayu atau lebih sering disebut Melayu Tamiang.

Mereka memiliki dialek dan bahasa yang sama dengan komunitas Melayu yang tinggal di kabupaten Langkat, Sumatera Utara dan berbeda dari masyarakat Aceh. Namun mereka telah berabad-abad menjadi bagian dari Aceh.

Dari segi budaya, mereka juga mirip dengan masyarakat pesisir timur Sumatera lainnya.


Penutup

Demikianlah penjelasan mengenai peta Aceh lengkap beserta karakteristik adat dan budaya di dalamnya.

Semoga penjelasan di atas dapat membantu mempermudah kita dalam belajar dan memahaminya guna menambah informasi dan wawasan. Terimakasih semoga bermanfaat.

Gambar Gravatar
Sindunesia, situs informatif dunia officially diposting oleh Admin Sindunesia.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *


The reCAPTCHA verification period has expired. Please reload the page.